KELUARGA MUSLIM

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(AN-NISA ayat 1)

Senin, 26 Oktober 2009

BELANJA ONLINE



Minggu, 20 September 2009

Rahasia Bisnis Nabi Muhammad SAW.

Oleh: Prof. Laode Kamauddin, Ph.D

Fakta pertama, Nabi Muhammad SAW. adalah seorang pebisnis sukses. Buktinya, ditinjau dari sisi waktu, Beliau menjalani hidup sebagai pebisnis selama 25 tahun, yakni dari umur 15 sampai umur 40 tahun. Sementara masa kerasulan beliau hanya 23 tahun.

Fakta kedua, Nabi Muhammad SAW. adalah manusia yang kaya. Meski dilahirkan dalam keadaan miskin namun pada saat beliau menikah pada umur 25 tahun, beliau mengeluarkan mahar kawin, yang jika diperhitungkan dengan nilai sekarang berkisar 6 milyar rupiah.

Fakta ketiga, Nabi Muhammad SAW. menganjurkan kita untuk kaya. Beberapa sabda beliau secara terang menganjurkan umat islam untuk menjadi kaya. Beberapa diantaranya: ”Perhatikan olehmu sekalian, sesungguhnya sembilan dari sepuluh pintu rezeki di dunia ini adalah perdagangan” (HR. Ahmad), ”Sesungguhnya sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang pedagang (entrepreneur)” (HR. Baihaqi), ”Allah itu cinta kepada seorang Mukmin yang bekerja” (HR. Al-Thabrani dan Al-Baihaqi). Dan banyak lagi hadist lainnya yang menyerukan umat muslim untuk menjadi sejahtera.

Fakta keempat, Nabi Muhammad SAW. telah menerapkan prinsip bisnis modern dalam membangun kerajaan bisnis. Rasulullah menjadikan bekerja sebagai ladang menjemput surga. Rasullullah menjadikan kejujuran (As Siddiqh) dan kepercayaan (Al Amin) menjadi prinsip utama dalam berbisnis. Rasulullah tegar dalam mewujdkan impian bisnis. Rasulullah memiliki pikiran visioner, kreatif, dan siap menghadapi perubahan. Rasulullah memiliki perencanaan dan goal setting yang jelas dalam membangun bisnisnya. Rasulullah pintar dalam mempromosikan dirinya. Rasulullah menggaji karyawan sebelum kering keringatnya. Rasulullah mengatahui rumus ”bekerja dengan cerdas”. Rasullah mengutamakan sinergisme. Rasulullah berbisnis dengan cinta. Rasulullah pandai bersyukur dan berucap terimakasih. Terakhir tapi juga terpenting dari rahasia bisnis beliau adalah menjadi manusia paling bermanfaat. Inilah rahasia bisnis Rasulullah yang sudah semestinya diikuti oleh semua orang jika ingin membangun kerajaan bisnis yang modern.

Mari kita, termasuk saya, mengikuti jejak bisnis Rasulullah

Ciri-Ciri Orang Berpikir & Bersikap Positif


10 Ciri Orang Berpikir & Bersikap Positif

Semua orang yang berusaha meningkatkan diri dan ilmu pengetahuannya pasti tahu bahwa hidup kan lebih mudah dijalani bila kita selalu berpikir positif. Tapi, bagaimana melatih diri supaya pikiran positiflah yang 'beredar' di kepala kita, tak banyak yang tahu. Oleh karena itu, sebaiknya kita kenali saja dulu ciri-ciri orang yang berpikir positif dan mulai mencoba meniru jalan pikirannya.

1. Melihat masalah sebagai tantangan
Bandingkan dengan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang terlalu berat dan bikin hidupnya jadi paling sengsara sedunia.

2. Menikmati hidupnya
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati, meski tak berarti ia tak berusaha untuk mencapai hidup yang lebih baik.

3. Pikiran terbuka untuk menerima saran dan ide Karena dengan begitu, boleh jadi ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu lebih baik.

4. Mengenyahkan pikiran negatif segera setelah pikiran itu terlintas di benak
Memelihara' pikiran negatif lama-lama bisa diibaratkan membangunkan singa tidur. Sebetulnya tidak apa-apa, ternyata malah bisa menimbulkan masalah.

5. Mensyukuri apa yang dimilikinya
Dan bukannya berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak dipunyainya.

6. Tidak mendengarkan gosip yang tak menentu
Sudah pasti, gosip berkawan baik dengan pikiran negatif. Karena itu, mendengarkan omongan yang tak ada juntrungnya adalah perilaku yang dijauhi si pemikir positif.

7. Tidak bikin alasan, tapi langsung bikin tindakan
Pernah dengar pelesetan NATO (No Action, Talk Only), kan? Nah, mereka ini jelas bukan penganutnya. NARO (No Action Review Only), NADO (No Action Dream Only), NATO (No Action Talk Only), NACO (No Action Concept Only), NABO (No Action Briefing Only), NAMO (No Action Meeting Olny), NASO (No Acton Strategy Only)

8. Menggunakan bahasa positif
Maksudnya, kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme, seperti "Masalah itu pasti akan terselesaikan, " dan "Dia memang berbakat."

9. Menggunakan bahasa tubuh yang positif
Di antaranya adalah senyum, berjalan dengan langkah tegap, dan gerakan tangan yang ekspresif, atau anggukan. Mereka juga berbicara dengan intonasi yang bersahabat, antusias, dan 'hidup'.

10. Peduli pada citra diri
Itu sebabnya, mereka berusaha tampil baik. Bukan hanya di luar, tapi juga di dalam.

Seandainya setiap warga Indonesia memiliki sikap2 tersebut. Tidak hanya menuntut orang untuk memahaminya, tetapi berusaha memahami orang lain. Dan dengan sikap positif kita, lebih menghargai perbedaan. Pasti akan lebih indah...

Kamis, 10 September 2009

KIAT MENJEMPUT MAUT

Oleh Tim Penyusun Dompet Dhuafa Republika

Alkisah menurut shirah, pernah Nabi Ibrahim a.s. berdialog dengan Malaikat Maut soal sakratulmaut. Sahabat Allah itu bertanya, "Dapatkah engkau memperlihatkan rupamu saat engkau mencabut nyawa manusia yang gemar berbuat dosa?" Malaikat menjawab pendek, "Engkau takkan sanggup." "Aku pasti sanggup," tegas beliau. "Baiklah, berpalinglah dariku," pinta si Malaikat.

Saat Nabi Ibrahim a.s. berpaling kembali, dihadapannya telah berdiri sesosok berkulit legam dengan rambut berdiri, berbau busuk dan berpakaian serba hitam. Dari hidung dan mulutnya tersembur jilatan api. Seketika itu pula Nabi Ibrahim a.s. jatuh pingsan! Ketika tersadar kembali, berkata beliau kepada Malaikat Maut, "Wahai Malaikat Maut, seandainya para pendosa itu tak menghadapi sesuatu yang lain dari wajahmu disaat kematian-nya, niscaya cukuplah itu menjadi hukuman untuknya."

Di kesempatan lain, kisah yang diriwayatkan oleh Ikrimah dari Ibn 'Abbas ini, Nabi Ibrahim a.s. meminta Malaikat Maut mengubah wujudnya saat mencabut nyawa orang-orang beriman. Dengan mengajukan syarat yang sama kepada Ibrahim a.s. Malaikat Maut pun mengubah wujudnya. Dihadapan Nabi yang telah membalikkan badannya kembali, telah berdiri seorang pemuda tampan, gagah, berpakaian indah yang darinya tersebar harum wewangian. "Seandainya orang beriman melihat rupamu disaat kematiannya, niscaya cukuplah itu sebagai imbalah amal baiknya."

Dari nukilan kisah itu, apakah bisik-bisik misteri tentang penampakan Malaikat Maut menjelang ajal seseorang benar adanya? Dalam pergaulan sehari-hari, kadang sering kita mendengar dari mulut ke mulut, misalnya salah satu anggota keluarga dari orang yang tengah menghadapi maut bercerita bahwa saudaranya itu melihat sesuatu. Apakah itu berupa bayangan hitam, putih atau hanya gumaman dialog mirip orang yang tengah mengigau.

Namun yang pasti dari beberapa riwayat, selain Nabi Ibrahim a.s, Nabi Daud dan Nabi Isa a.s. pernah dihadapkan pada fenomena penampakan Malaikat Maut itu. Kisah pra sakratulmaut itu belum seberapa bila dibandingkan dengan sakratulmaut itu sendiri. Sakratulmaut adalah sebuah ungkapan untuk menggambarkan rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian sehingga tak satupun bagian yang terbebas dari rasa sakit itu. Malapetaka paling dahsyat di kehidupan paripurna manusia ini memberi rasa sakit yang berbeda-beda pada setiap orang. Untuk menggambarkan rasa itu, pernah Rasulullah SAW berkata, "Kematian yang paling mudah adalah serupa dengan sebatang duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang terkoyak?"

Tapi di bagian lain Rasulullah seperti yang dikisahkan oleh Al-Hasan pernah menyinggung soal kematian, cekikan dan rasa pedih, "Sakitnya sama dengan tiga ratus tusukan pedang," sabda beliau. Diriwayatkan pernah Nabi Ibrahim a.s. ketika ruhnya akan dicatu, Allah SWT bertanya kepada Ibrahim, "Bagaimana engkau merasakan kematian wahau kawanku?" beliau menjawab "Seperti sebuah pengait yang dimasukkan kedalam gumpalan bulu basah yang kemudian ditarik," "Yang seperti itulah, sudah Kami ringankan atas dirimu," firman-Nya.

Tentang sakratulmaut, Nabi SAW bersabda, "Manusia pasti akan merasakan derita dan rasa sakit kematian dan sesungguhnya sendi-sendinya akan mengucapkan selamat tinggal satu sama lain seraya berkata; "Sejahteralah atasmu; sekarang kita saling berpisah hingga datang hari kiamat kelak". Tentang sakratulmaut itu Rasulullah SAW sendiri menjelang akhir hayatnya berucap "Ya Allah ringankanlah aku dari sakitnya sakratulmaut" berulang tiga kali. Padahal telah ada jaminan dari Allat SWT bahwa beliau akan masuk surga. Mulai detik ini, marilah kita komparasikan kekhawatiran beliau yang memiliki tingkat keimanan dan keshalehan sedemikian sempurnanya, dengan kita yang hanya manusia biasa ini.

Oleh karenanya kematian mestinya tak perlu menjadi sesuatu yang perlu ditakuti tapi sebaiknya harus senantiasa dirindukan. Jika sesuatu itu begitu dirindukan, logikanya berarti ingin cepat-cepat pula ditemui. "Barangsiapa membenci pertemua dengan Allah, maka Allah akan benci teremu dengannya" sabda Rasulullah SAW. Namun bukan berarti pula kita dianjurkan untuk selalu mengharap kematian, karena tentang hal ini seperti diriwayatkan Bukhari, Rasulullah SAW sendiri juga pernah berucap, "Janganlah seorang diantaramu mengharap kematian," Cukuplah sepanjang hayat ini, kita selalu mengingat-ingat maut. Caranya dengan senantiasa tanpa lelah memerangi hawa nafsu, merenung, atau melindungi hati dari silaunya kemegahan duniawi. Untuk sekedar mengingat maut saja, Allah telah mendatangkan pahala dan kebaikan. Ikut bertakziah mendoakan kematian orang lain, menengok jenazah atau ikut menyaksikan penguburan misalnya, bukankah ritual itu mendatangkan pahala?. Orang yang mengingat maut dua puluh kali dalam sehari semalam pesan Nabu Muhammad SAW di hari akhir nanti akan dibangkitkan bersama-sama dengan golongan syuhada.

KEMATIAN DAN ALAM KUBUR

Dari kutipan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits yang bersaksi atas kematian, kematian berarti perubahan atas suatu keadaan. Meski telah meninggalkan jasad, ruh masih dapat merasakan kepedihan maupun kebahagiaan. Menurut Al-Ghazali, hakikat dari kematian itu adalah bahwa jasad tidak lagi efektif terhadap keberadaan ruh. Semua anggota badan (telinga, hidung, tangan, mata dan kalbu dsb) sesungguhnya merupakan alat-alat yang digunakan ruh untuk melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu. Sedangkan perasaan gembira, senang, bahagia, duka dan nestapa adalah bagian yang inheren dengan ruh itu sendiri. Kematian sama dengan hilangnya segala kemampuan yang timbul sebagai sebab akibat keterkaitan ruh dengan anggota-anggota tubuh. Lenyap-nya kemampuan anggota tubuh itu seiring dengan matinya jasad, hingga tiba saatnya nanti ruh dikembalikan (baca: difungsikan) kepada jasadnya. Seringkali kita mendengar bahwa ruh akan dipersatukan kembali dengan jasad (baca: manusia dibangkitkan kembali) hingga datangnya hari kiamat kelak bukan?

Logikanya, menurut Al-Ghazali dapat dipersamakan dengan hilangnya fungsi salah satu anggota badan disebabkan karena telah rusak atau hancurnya anggota badan itu. Urat-urat yang berada dalam anggota tubuh itu tak dapat dialiri lagi oleh ruh. Jadi, ruh yang memiliki daya pengetahuan, berpikir dan merasa itu tetap ada dan memfungsikan sebagian anggota tubuh lain namun tak mampu memfungsikan sebagian yang lain. Jadi kematian tak berarti pula musnahnya ruh atau hilangnya daya cerna ruh, bukti tentang ini dapat direnungi pada kematian para syuhada dalam Surat Al-Imran ayat 169 (Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki).

Kematian dapat pula berarti kekalnya kebahagiaan atau kesengsaraan. Rasulullah SAW bersabda "Kuburan itu dapat menjadi salah satu jurang neraka atau surga" (HR Tarmidzi). Penjelasannya dilanjutkan kembali oleh Rasulullah dalam sabda-nya yang lain, "Jika salah seorang dari kalian mati, pagi dan petang akan diperlihatkan kedudukannya (kelak). Jika ia termasuk penghuni surga maka tempat duduknya ditempatkan di surga, dan jika ia termasuk penghuni neraka maka tempatnya di neraka. Dan kepada mereka dikatakan, "Inilah tempat kalian hingga tiba saatnya dibangkitkan untuk menemui Dia pada hari kebangkitan." (HR Bukhari).

Sedang tentang kondisi alam kubut digambarkan oleh Al-Ghazali mengutip beberapa ulama salaf (seperti "Ubaid bin 'Umair Al-Laitsi, Muhammad bin Shabih, Yazid Al-Ruqasyi, dan Ka'b (Al-Ahbar), lebih mencekam lagi. Bahwa ruh orang yang telah berada dalam alam lain itu dapat mendengar perkataan ruh lain, bahkan orang yang masih hidup. Hal ini pernah dibuktikan oleh Rasulullah SAW saat beliau bertanya tentang janji Allah, kepada jawara-jawara Quraisy yang tewas terbunuh dalam perang Badar. Dan Beliau ditanya oleh para sahabat "Wahai Rasulullah ! Apakah engkau berseru kepada mereka, sedangkan mereka sudah mati ?" Beliau menjawab. "Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, mereka mendengar kata-kataku lebih jelas daripada kalian. Hanya saja mereka tak mampu menjawab."

Dari Muhammad bin Shabih pernah diriwayatkan pula, jenazah yang telah diletakkan di liang kubur akan disapa oleh

Kamis, 13 Agustus 2009

Perspektif Al-IKHLAS Seorang Muslim

Oleh: Al-Ikhwan.net| Tanggal: 2009-07-07
Min Kutubil Ikhwan

Dalam rukun bai’at kedua, Imam syahidnya meletakkan Al-Ikhlas setelah rukun Baiat pertama Al-Fahmu. Hal ini mengisyaratkan bahwa Al-Fahmu akan memunculkan keikhlasan, dan keikhlasan akan sempurna jika diiringi dengan pemahaman.

Imam as-syahid berkata: “Yang saya maksud dengan ikhlas adalah seorang al-akh hendaknya mengorientasikan perkataan, perbuatan dan jihadnya kepada Allah; mengharap keridhaan-Nya dan memperoleh pahala-Nya, tanpa memperhatikan keuntungan materi, prestise, pangkat, gelar, kemajuan atau kemunduran. Dengan itulah ia menjadi tentara fikrah dan aqidah, bukan tentara kepentingan dan yang hanya mencari manfaat dunia. “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (Al-An’am:162). Dengan begitu, seorang Al-akh telah memahami makna slogan abadinya: “Allah tujuan kami”. Sungguh Allah Maha Besar dan bagi-Nya segala puji.

Makna Ikhlas

Ikhlas adalah menginginkan keridhaan Allah dengan melakukan amal dan membersihkan amal dari berbagai polutan duniawi. Karena itu, seseorang tidak mencemari amalnya dengan keinginan-keinginan jiwa yang bersifat sementara, seperti menginginkan keuntungan, kedudukan, harta, ketenaran, tempat di hati manusia, pujian dari mereka, menghindari cercaan dari mereka, menghindari bisikan nafsu, atau penyakit-penyakit dan polutan-polutan lainnya yang dapat dipadukan dalam satu kalimat, yaitu melakukan amal untuk selain Allah, apapun bentuknya.

Ikhlas dengan pengertian seperti itu merupakan salah satu buah dari kesempurnaan tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Oleh karena itu, riya yang merupakan lawan dari ikhlas dianggap kesyirikan.
Syaddad bin Aus berkata: “Di masa Rasulullah saw, kami menganggap riya sebagai syirik kecil”. Majmu az-zawaid, kitab Az-Zuhdi, bab “Majaahurriya, jilid 10 hal. 225

Dua rukun diterimanya amal

Setiap amal shalih tidak diterima oleh Allah set kecuali jika terpenuhi dua rukun yaitu; keikhlasan dan lurusnya niat, dan yang kedua sejalan dengan sunnah dan syariat.

Dengan rukun pertama akan tercapai keshalihan batin, sedangkan rukun kedua merupakan keshalihan lahir.
Tentang rukun yang pertama, Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya amal-amal itu (dinilai) dengan niatnya”. (Fathul bari: 1/5. No. 1) hadits ini merupakan tolok ukur suasana batin manusia.

Sedang tentang rukun kedua, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan sesuatu amalan bukan atas perintahku, maka ia tertolak”. (Muslim: 3/1343, no. 1718). Artinya, amalnya dikembalikan kepada pelakunya (tidak diterima). Dan, ini merupakan tolok ukur batin.

Allah SWT menggabungkan dua rukun tersebut dalam beberapa ayat-Nya di dalam Al-Qur’an. Antara lain, Allah SWT berfirman:

“Dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan”. (Luqman:22)

Fudhail bin Iyadh berkata tentang firman Allah: “Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. (Al-Mulk:2) yang dimaksud dengan lafazh ahsanu amalan adalah yang paling ikhlas dan paling tepat. Ditanyakan kepadanya apa yang dimaksud paling ikhlas dan paling tepat wahai Abu Ali (nama panggilan Fudhail), ? ia menjawab: “Sesungguhnya, suatu amal itu bila dilakukan dengan ikhlas tetap tidak tepat, maka tidak diterima oleh Allah, dan bila dilakukan secara tepat tetapi tidak ikhlas, maka tidak diterima (oleh Allah). Amal tidak diterima sehingga dilakukan dengan ikhlas dan tepat. Yang dimaksud ikhlas adalah menjadikan amal untuk Allah, sedangkan tepat adalah sesuai dengan sunnah (Rasulullah saw).” Kemudian Fudhail membaca firman Allah SWT: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (Al-Kahfi:110)

Beberapa indikasi keikhlasan

Keikhlasan memiliki beberapa indikasi dan tanda-tanda yang tampak dalam kehidupan dan perilaku pemiliknya. Juga tampak dalam pandangannya terhadap dirinya dan pandangannya terhadap orang lain. Indikasi-indikasi tersebut antara lain:

1. Khawatir terhadap ketenaran serta keharuman nama atas dirinya dan agamanya, terutama bila ia termasuk orang-orang yang berprestasi. Ia meyakini bahwa Allah menerima amal berdasarkan niat yang tersimpan dalam batin, tidak dengan penampilan. Ia juga meyakini bahwa meskipun ketenarannya telah tersebar ke seluruh penjuru, dan itu yang diniatkannya, manusia tidak dapat menolongnya dari siksa Allah.
Hal inilah yang menyebabkan para ulama salaf dan orang-orang yang shalih sebelum kita takut pada fitnah ketenaran, tipuan pangkat serta keharuman nama, dan mereka juga memperingatkan murid-murid dari hal-hal tersebut.

Ibnu Mas’ud berkata: “Jadilah kalian sebagai sumber mata air ilmu; lampu-lampu (cahaya) petunjuk yang menetap di rumah-rumah; pelita di waktu malam yang hatinya selalu baru, yang kusut pakaiannya, dan dikenal oleh penduduk langit, tetapi tersembunyi dari penduduk bumi”.

Fudhail bin Iyadh berkata: “bila kamu mampu menjadi orang yang tidak dikenal, maka lakukanlah. Sebab, apa kerugianmu tidak dikenal? Apa kerugianmu bila tidak dipuji? Dan apa kerugianmu bila kamu menjadi orang yang tercela di hadapan manusia, tetapi terpuji di hadapan Allah SWT?

Riwayat diatas jangan sampai dipahami sebagai seruan untuk mengisolasi diri, karena orang-orang yang mengatakan atau menyampaikan riwayat-riwayat tersebut adalah tokoh-tokoh dai yang bergaul dengan masyarakat, dan para pemandu perbaikan yang memiliki pengaruh baik dalam membimbing serta mengarahkan masyarakat. Akan tetapi, secara keseluruhan wajib dipahami sebagai kewaspadaan terhadap syahwat jiwa yang tersembunyi dan kehati-hatian terhadap pintu-pintu dan jendela-jendela yang dapat dilalui setan menembus hati manusia.

Pada hakikatnya ketenaran bukan suatu hal yang tercela, karena tiada yang lebih terkenal daripada nabi dan khulafaur rasyidin. Karena itu, ketenaran yang tidak dipaksakan dan bukan didasari oleh niat ambisius, tidak dianggap sebagai suatu kesalahan. Imam Al-Ghazali mengatakan: “(Ketenaran itu) fitnah bagi orang-orang yang lemah (keimanan) dan tidak demikian bagi orang-orang yang kuat (keimanannya)”.

2. Orang yang ikhlas selalu menuduh dirinya teledor dalam menunaikan hak-hak Allah dan teledor dalam melaksanakan berbagai kewajiban.

Hatinya tidak dirasuki oleh perasaan ghurur (tertipu) dan terkagum dengan diri sendiri. Bahkan, ia selalu takut dengan kesalahan-kesalahannya tidak diampuni, dan kebaikan-kebaikannya tidak diterima oleh Allah SWT.

Dahulu, sebagian orang shalih menangis pilu saat sedang sakit, lantas sebagian orang yang menjenguknya bertanya: “Mengapa engkau menangis, padahal engkau telah puasa, shalat malam, berjihad, bersedekah, haji, umrah, mengajarkan ilmu dan berdzikir”. Ia menjawab: “siapa yang dapat menjamin bahwa itu semua memperberat timbangan amal baikku, dan siapa yang menjami bahwa amalku diterima di sisi Tuhanku? Sementara Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Maidah:27)

Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Aisyah ra, istri nabi saw berkata: “Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang ayat, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut”. (Al-Mukminun:60). Aisyah berkata: “Apakah mereka itu orang-orang yang meminum khamar dan mencuri? Rasulullah saw menjawab: Tidak wahai putri (Abu Bakar) As-Shidiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan bersedekah, tetapi mereka takut kalau amal mereka tidak diterima (oleh Allah). Mereka itulah orang-orang yang bersegera menuju kepada berbagai kebijakan”. (Tirmidzi, 5/306, no. 3715)

3. Orang yang ikhlas lebih mencintai amal yang tersembunyi daripada amal yang diliputi oleh hiruk pikuk publikasi dan gaung ketenaran.

Ia lebih mengutamakan menjadi seperti akar pohon dalam jamaah. Dengan akar itu pohon tegak dan hidup, tetapi ia tersembunyi di dalam tanah, tidak terlihat oleh mata manusia.

4. Amalnya saat menjadi pemimpin dan saat menjadi anggota tidak berbeda, selama keduanya masih dalam rangka memberikan pelayanan pada dakwah.

Hatinya tidak dirasuki penyakit suka tampil, ingin di depan barisan, ingin memegang kendali dan ambisi menguasai pusat-pusat kepemimpinan. Bahkan, orang yang ikhlas lebih mengutamakan menjadi anggota biasa, karena khawatir tidak dapat menunaikan kewajiban-kewajiban dan tanggungjawab kepemimpinannya. Dengan kata lain, orang ikhlas tidak menginginkan dan tidak meminta jabatan untuk dirinya, tetapi bila diberi amanah, ia menerimanya dengan tanggungjawab dan memohon pertolongan kepada Allah untuk melaksanakan sebagaimana mestinya.

Rasulullah saw telah menjelaskan model manusia seperti itu dalam sebuah sabdanya: “Berbahagialah seorang hamba yang memegang tali kudanya di jalan Allah, rambutnya acak-acakan, dan dua kakinya berdebu. Bila ia (ditugaskan) di pos penjagaan, ia tetap di pos penjagaan, dan bila (ditempatkan) di barisan belakang, ia tetap di barisan belakang tersebut..” (Fathul Bari 6/95, no. 2887)

Semoga Allah meridhai Khalid bin Walid saat dicopot dari jabatannya sebagai panglima pasukan. Ia tetap beramal dengan giat di bawah komando Abu Ubaidah yang menggantikannya, tanpa menggerutu dan tanap mengomel. Padahal ia adalah seorang panglima yang selalu mendapatkan kemenangan.

5. Tidak menggubris keridhaan manusia, bila di balik itu terdapat kemurkaan Allah SWT,

Sebab, manusia berbeda-beda tabiat, cara berfikir, kecenderungan, dan tujuan-tujuannya. Karena itu, upaya untuk mendapat keridhaan mereka adalah batas yang tidak mungkin dapat diraih. Dan, orang yang ikhlas membebaskan jiwanya dari seluruh kesusahan tersebut.
Syiarnya dalam berhubungan dengan Allah adalah:

Dengan-Mu ada kelezatan, meski terasa pahit # kuharapkan ridha-Mu, meski seluruh manusia marah

Kuharapkan hubunganku dengan-Mu tetap harmonis # meski hubunganku dengan seluruh alam berantakan

Bila cinta-Mu kudapatkan, semua akan terasa ringan # sebab, semua yang di atas tanah adalah tanah belaka

6. Kecintaan dan kemarahannya, pemberian dan keengganannya untuk memberi serta keridhaan dan kemurkaannya adalah karena Allah dan agamanya,

bukan karena kepentingan pribadi atau kemaslahatan diri sendiri. Orang yang ikhlas bukan seperti orang-orang oportunis dari kalangan munafik yang dicela Allah dalam kitab-Nya “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka, dalam Keadaan kafir”. (At-Taubah:85)

Kadang kita melihat ada sebagian aktivis dakwah yang marah, menggerutu, lalu meninggalkan aktivitas, pergerakan dan menjauh dari medan jihad, gara-gara ada yang mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya, melukai perasaannya atau menjelekkan salah seorang teman dekat dan kerabatnya.

Padahal keikhlasan tujuan seharusnya menjadikannya tetap melanjutkan dakwah dan komitmen pada orientasinya, betatapun banyaknya orang yang melakukan kesalahan, kelengahan atau melampaui batas. Sebab, ia beramal untuk Allah SWT bukan untuk kepentingan dirinya, keluarganya atau si fulan dan si fulanan dari kalangan manusia.

Dakwah kepada Allah SWT bukan hak prerogatif atau milik seseorang, melainkan milik masyarakat. Oleh karena itu, tidak sepatutnya seorang mukmin meninggalkan dakwah karena sikap seseorang atau karena perilaku seseorang.

7. Bahwa panjangnya perjalanan, lamanya waktu memanen buah, terlambatnya keberhasilan dan berbagai kesulitan kerja bersama manusia yang beragama cita rasa dan kecenderungan, tidak membuatnya malas, kendur atau meninggalkan dakwah.

Sebab, ia beramal tidak hanya untuk mencari keberhasilan atau mencari kemenangan. Akan tetapi, ia beramal untuk mendapatkan keridhaan Allah dan karena menjalankan perintah-Nya.

Pada hari akhir nanti, Allah tidak akan menanyakan kepada manusia, mengapa kalian tidak mendapatkan kemenangan? Akan tetap Allah akan menanyakan, “mengapa kalian tidak berjihad? Allah tidak akan menanyakan, “mengapa kamu tidak berhasil? Tetapi, Allah akan menanyakan, “Mengapa kamu tidak beramal?
8. Bergembira dengan munculnya orang-orang yang berprestasi di dalam barisan dakwah, yang dapat mengibarkan bendera dakwah serta berpartisipasi dalam perjuangan. Juga memberi kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang yang berbakat untuk menggantikan posisinya, tanpa sedikit pun menghalang-halangi, atau merasa kesal. Bahkan apabila menemukan orang lain yang lebih mampu memikul tugasnya, maka ia akan meninggalkan posisinya dengan ridha dan mempersilakannya dengan suka rela untuk maju menggantikan dirinya. Sementara itu, ia akan mundur dengan rasa bahagia.

Urgensi keikhlasan bagi aktivis dakwah

Perjuangan untuk mengembalikan hegemoni Islam dan pengendalian kehidupan dengan akidahnya, syariatnya, akhlaqnya dan peradabannya, merupakan ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT. Oleh karena itu, keikhlasan niat dalam melaksanakan ibadah tersebut merupakan syarat utama bagi diterimanya amal, juga bagi kesuksesannya karena niat yang tercampuri (tidak ikhlas) dapat merusak amal, mengotori jiwa, melemahkan barisan dan menggagalkan pahala.

Aktivis muslim harus memeriksa relung-relung hatinya dan meneliti hakikat tujuan serta motivasinya. Apabila di dalamnya terdapat bagian untuk dunia dan setan, maka ia harus segera berjihad untuk membersihkan hatinya dari kotoran tersebut, berupaya mengikhlaskan niat hanya untuk Allah, serta menazarkan dirinya hanya untuk Allah. Sebagaimana yang tealh diucapkan oleh istri Imran, “Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Ali Imran:35)

Kehidupan tidak akan dipimpin oleh kebenaran, tertaburi kebaikan, terkuasai oleh keadilan dan bendera kemuliaan berkibar padanya, karena keberadaan orang-orang yang memperdagangkan prinsip, yaitu orang-orang yang tidak beramal kecuali untuk mencari keuntungan dunia. Juga bukan karena keberadaan orang-orang yang mencari muka, yaitu orang-orang yang tidak beramal kecuali untuk dilihat, di dengar dan dijadikan pembicaraan dan ditokohkan oleh manusia. Kebenaran, kebaikan dan kemuliaan akan mendapatkan kemenangan dengan adanya orang-orang yang ikhlas, yaitu orang-orang yang memegang prinsip; mempengaruhi bukan terpengaruh; rela berkorban dan bukan mencari keuntungan; serta siap memberi bukan hanya menerima.

Penyakit hati yang mengotori keikhlasan serta merusak niat lebih perah dan lebih membahayakan daripada penyakit fisik, karena penyakit hati dapat merusak pahala dan menjauhkan pemiliknya dari jalan dakwah yang benar. Penyakit tersebut jelas ada dalam diri kita. Akan tetapi, kita dapat melawannya dengan keimanan dan ketaqwaan. Oleh karena itu, kita harus selalu sadar, waspada, men
gevaluasi niat, serta berusaha membersihkannya dari berbagai penyakit hati yang dapat mengotorinya.

Selasa, 11 Agustus 2009

Menjaga Bermesraan Ala Rasulullah

Oleh: | Tanggal: 2009-07-31
Sumber: www.dakta.com

Seorang pria, bertanya malu-malu kepada seorang ustad. Si pria yang sudah berumur ini, telah mengarungi masa pernikahannya lebih dari 20 tahun.

Kedua pasangan ini dikenal sebagai pekerja keras (workaholic). Hidupnya adalah kerja, kerja, dan kerja. Hanya saja, ia mengaku ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. “Kemesraan, “ katanya yang ia rasakan telah hilang.

“Saya ingin mengembalikan suasana kemesraan itu seperti semula, tapi bagaimana memulainya ustad?” ujarnya. “Bisakah dalam usia kami yang memasuki 50 tahun ini menikmati kemesraan bersama istri seperti sebelumnya?”

Kemesraan adalah bagian penting untuk menjaga keharmonisan keluarga Muslim. Jangan sampai para keluarga Muslim terganggu hubungannya hanya karena alasan usia. “Ah, sudah tua, kok masih aneh-aneh,” demikian ucapan yang sering diucapkan para pasangan tua.

Kemesraan non-verbal

Bermesraan adalah upaya suami istri untuk menunjukkan saling kasih sayang dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Ucapan yang manis, kata-kata yang manja, dan ajakan yang lembut, adalah bentuk kemesraan verbal yang bisa dilakukan suami dan istri. Sedang sentuhan tangan dan gerak tubuh lainnya adalah kemesraan dalam bentuk non-verbal. Kemesraan verbal semata belum cukup tanpa disertai kemesraan non-verbal.

Untuk meyakinkan Anda bahwa di usia 50 tahun pasangan masih bisa mewujudkan hubungan yang mesra, berikut ini kami nukilkan beberapa hadits Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam (Saw) yang menggambarkan kemesraan beliau bersama istri-istrinya. Tak ada salahnya membangun kemesraan antara suami-istri, meski usia telah beranjak tua. Rasulullah Muhammad, bahkan dikenal sebagai pria yang mesra dan sangat memperhatikan istri-istrinya.

Di bawah ini adalah rahasia kemesraan Rasulullah:


1. Tidur dalam satu selimut bersama istri

Dari Atha’ bin Yasar: “Sesungguhnya Rasulullah Saw dan ’Aisyah Radhiyallahu Anha (Ra) biasa mandi bersama dalam satu bejana. Ketika beliau sedang berada dalam satu selimut dengan ’Aisyah, tiba-tiba ’Aisyah bangkit. Beliau kemudian bertanya, ‘Mengapa engkau bangkit?’ Jawabnya, ‘Karena saya haidh, wahai Rasulullah.’ Sabdanya, ‘Kalau begitu, pergilah, lalu berkainlah dan dekatlah kembali kepadaku.’ Aku pun masuk, lalu berselimut bersama beliau.” (Riwayat Sa’id bin Manshur)


2. Memberi wangi-wangian pada auratnya

‘Aisyah berkata, “Sesungguhnya Nabi Saw apabila meminyaki badannya, beliau memulai dari auratnya dan mengolesinya dengan nurah (sejenis bubuk pewangi), dan istrinya meminyaki bagian lain seluruh tubuhnya.” (Riwayat Ibnu Majah)


3. Mandi bersama istri

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Aku biasa mandi bersama dengan Nabi Saw dengan satu bejana. Kami biasa bersama-sama memasukkan tangan kami ke dalam bejana.” (Riwayat Abdurrazaq dan Ibnu Abu Syaibah)


4. Disisir istri

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Saya biasa menyisir rambut Rasulullah, saat itu saya sedang haidh.” (Riwayat Ahmad)


5. Meminta istri meminyaki badannya

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Saya meminyaki badan Rasulullah pada hari raya Idul Adha setelah beliau melakukan jumrah aqabah.” (Riwayat Ibnu ‘Asakir)


6. Minum bergantian pada tempat yang sama

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Saya biasa minum dari muk (gelas) yang sama ketika haidh, lalu Nabi Saw mengambil muk tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat saya meletakkan mulut saya, lalu beliau minum, kemudian saya mengambil muk, lalu saya menghirup isinya, kemudian beliau mengambilnya dari saya, lalu beliau meletakkan mulutnya pada tempat saya meletakkan mulut saya, lalu beliau pun menghirupnya.” (Riwayat ‘Abdurrazaq dan Sa’id bin Manshur)


7. Mencium istri

Dari ‘Aisyah, “Bahwa Nabi Saw biasa mencium istrinya setelah wudhu, kemudian beliau shalat dan tidak mengulangi wudhunya.” (Riwayat ‘Abdurrazaq)


8. Tiduran di pangkuan istri

Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi biasa meletakkan kepalanya di pangkuanku walaupun aku sedang haidh, kemudian beliau membaca Al-Qur’an.” (Riwayat ‘Abdurrazaq)


9. Memanggil dengan kata-kata mesra

Rasulullah biasa memanggil ‘Aisyah dengan beberapa nama panggilan yang disukainya, seperti ‘Aisy dan Humaira (pipi merah delima).

Begitu indahnya kemesraan Rasulullah kepada para istrinya, memberikan gambaran betapa Islam sangat mementingkan komunikasi non-verbal ini, karena bahasa tubuh akan lebih efektif menyatakan cinta dan kasih sayang antara suami dan istri.

Nah, masih kurang apalagi bentuk kemesraaan yang telah dicontohkan oleh Nabi kita? Dan sudahkah kita bermuhasabah [berkaca] untuk melihat apa yang telah kita lakukan untuk suami-istri kita tercinta guna menjaga kemesraan ini?

Sabtu, 23 Februari 2008

ORANG MULIA ITU TERUS MEMBERI

Oleh: KH. Muhith Muhammad Ishaq, Lc, MAg
Dewan Syari'ah LAZ TAMU, Guru ngaji Masjid Al Qalam Islamic Center IQRO' Pondok Gede Bekasi

Siapapun kenal bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq ra adalah orang yang sangat dermawan. Sahabat Rasulullah saw yang stu ini membelanjakan hartanya untuk para budak yang disiksa tuannya karena memeluk Islam, menyumbang dana jihad dengan seluruh harta yang ia punya, dan sederet prestasi kedermawanan yang tidak bisa ditandingi bahkan oleh sahabat Umar bin Khaththab ra.
Suatu ketika keluarga Abu Bakar Ash Shiddiq -radhiyallahu 'anhu- tertimpa musibah besar, yang berupa tuduhan besar bahwa Aisyah ra -putri kebanggaan Abu Bakar, istri Rasulullah saw dituduh berbuat yang tidak patut oleh kaum munafiq. Kelurga Abu Bakar ra sangat terpukul berat dengan tuduhan itu. Dan lebih menyakitkan lagi, Mishthah yang selama ini hidup dari pemberian Abu Bakar ra ikut menjadi bagian dari penebar fitnah, gosip yang memojokkan Aisyah ra.
Kemanusiaan Abu Bakar terusik, Abu Bakar geram karena sikap Mishthah yang selama ini ia bantu semua keperluan materinya tidak membantu Abu Bakar menghadapi musibah malah menambah masalah, tidak memberi dukungan pada saat keluarga Abu Bakar menahan tekanan malah ikut menambah beban. Abu Bakar berjanji tidak akan memberikan bantuan lagi kepada Mishthah.
Barangkali kita dapat memaklumi sikap Abu Bakar ra yang demikian ini sebagai akibat dari sikap Mishthah yang bisa disebut tidak tahu berbalas budi.
Tetapi Allah swt mengingatkan Abu Bakar ra sebagai Ulul Fadhli (orang mulia, dermawan) untuk tidak merusak kedermawanannya itu karena sikap negatif yang ditunjukkan oleh penerima kedermawanannya. Allah swt menyebut Abu Bakar sebagai orang yang brelapang rizki dan akan terus memberikan maghfirah dengan menyuruh Abu Bakar ra memaafkan kesalahan Mishthah, berlapang dada atas kekhilafannya, memberikan kembali bantuan sebagai mana dahulu kala.
Janji Allah swt yang demikian lebih menarik hati Abu Bakar ra. Maghfirah itu lebih membanggakan jiwa Abu Bakar dibandingkan dengan sikap Mishthah yang sempat menyakitkannya pada saat ia membutuhkan simpati dan dukungan.
Marilah kita belajar menjadi seperti Abu Bakar ra, terus memberi dan membantu tanpa terpengaruh oleh sikap buruk para penerima. Bershadaqah yang tidak pernah mengharapkan imbalan dari para penerima meskipun ucapan terima kasih dari mereka atau balasan dalam bentuk lainnya. Kita perlu meniru harapan para dermawan yang hanya mengharapkan ridha Allah swt menghindarkan diri dari neraka dan hanya merindukan balasan surga.
Akhirnya, mari kita renungi firman Allah swt: ...dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati, dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera. QS. Al Insan: 8-12